Rohingya Dibantai, Dunia Berkabut . Sejak lebih dari sepekan lalu, kekerasan terbaru meletus di negara
bagian Rakhine - Myanmar yang banyak dihuni umat muslim Rohingya. Gelombang
kekerasan baru ini menandai eskalasi dramatis sejak oktober 2016 lalu, ketika
milisi Rohingya melakukan serangan dengan skala yang lebih kecil. Para
pengungsi Rohingya mengatakan bahwa aparat keamanan Myanmar dan kelompok
militan radikal Budha membakar desa-desa
mereka. Pemerintah Myanmar berdalih pasukan keamanan mereka sekadar mengambil
langkah balasan terhadap lebih dari 20 pos polisi oleh milisi Rohingya.
Bentrokan susulan sesudah itu membuat banyak warga sipil baik Islam maupun Budha,
lari menyelamatkan diri dari desa-desa mereka. Setelah serangan milisi pada
bulan oktober 2016 lalu militer melakukan operasi pembalasan yang keras, dan
banyak warga Rohingya mengatakan bahwa dalam operasi itu pasukan keamanan
melakukan pembakaran desa dan penyiksaan. Seperti yang dikemukakan oleh Karimullah Mohammad, salah satu warga Rohingya yang mengungsi di Indonesia.
![]() |
Karimullah Mohammad menitikkan air
mata seusai menonton video pembakaran rumah warga di Mingdao, Arakan,
Myanmar, 31 Agustus 2017. Pria usia 37 tahun ini sudah enam tahun mengungsi
ke Indonesia, sementara saudaranya masih berada di Mingdao. (Hayati Nupus -
Anadolu Agency)
|
Karimullah Muhammed adalah
warga Rohingya yang mengungsi ke Indonesia. Ia mengatakan, kekerasan atas orang
Rohingya bukanlah hal yang baru bagi mereka. “Myanmar telah melakukan
pembunuhan massal dalam waktu yang lama, namun pemerintah telah meningkatkan
pembasmian dalam beberapa tahun terakhir,” kata Muhammed. Karimullah Muhammed
juga mengatakan bahwa bukan ratusan melainkan ribuan umat Muslim Rohingya
dibantai habis. “Saya membaca berita bahwa sekitar 300 warga Rohingya terbunuh,
namun saya telah diberitahu teman-teman saya yang diserang [di negara bagian
Rakhine] bahwa lebih dari 3.000 Muslim Rohingya terbunuh dan hampir 100 desa
dibakar habis,” ungkapnya.
Secara histeris, penduduk Rakhine membeci
kehadiran Rohingya yang mereka pandang sebagai pemeluk islam dari negara lain
dan ada kebencian meluas terhadap Rohingya di Myanmar. Di sisi lain, penduduk Rohingya
merasa bahwa mereka adalah bagian persekusi oleh negara. Negara tetangga
Bangladesh sudah menerima ratusan ribu pengungsi dari Myanmar dan tak mampu
lagi menampung mereka.
Ada sisi agama dalam konflik ini, namun juga
ada ketegangan antar etnis dan ekonomi. Komunitas rakhine merasa
terdiskriminasi secara budaya, di eksploitasi secara ekonomi dan terpinggirkan
oleh pemerintah pusat yang di dominasi oleh etmis Burma. Dalam situasi ini,
etnis Rohingya, oleh orang Rakhine dianggap sebagai pesaing dalam perebutan
sumber daya, sehingga menimbulkan ketegangan di negara bagian itu yang kemudian
memicu konflik dari dua kelompok tersebut. Direktur
Wahid Foundation Yenny Wahid dalam kompas.com mengatakan,
sebaiknya masyarakat tidak terjebak dalam melihat isu kekerasan terhadap warga
Rohingya sebagai konflik antara Islam dan Budha. Hal tersebut, menurut Yenny,
justru akan menimbulkan polemik di dalam negeri. "Wahid
Foundation mengajak masyarakat Indonesia untuk tidak terjebak dalam melihat
konflik Rohingya sebagai konflik antara agama Islam dan Budha. Apalagi sampai
berujung pada sikap memusuhi komunitas atau penganut agama tertentu sebagai
respons atas kejadian di Rohingya," ujar Yenny seperti dikutip dari
keterangan pers Wahid Foundation, Selasa (5/9/2017).

Tidak ada komentar:
Posting Komentar