Created By :A-A Ikha'a.
Bel berbunyi nyaring ketika aku sampai
di gerbang besar sekolah. Siswa lain yang masih berada diluar area sekolah
segera melangkah cepat. Mengejar kecepatan pak zein penjaga sekolah yang mulai
menatap gerbang sambil sambil
menggenggam sebuah gembok besar serta
rencengan kunci seluruh lubang kunci yang ada di sekolah.
Aku berjalan santi ketika orang lain
terbara bara menuju kelas masing masing. Membenarkan posisi kerudung lebarku
yang sedikit miring. Dan baru ikut berlari kecil ketika seisi koridor berangsur
sepi. Melangkah cepat menuju pintu kelas ku berada. Sambil diam diam tanpa ku
sadari, bibir ku telah merangkai senyum simpal. Sebenarnya bukan kebisaanku
datang tepat pada waktu … nya masuk
sekolah. Aku selalu datang di saat sebelum yang lain datang.
Ketika pak Zein masih menyantapa sarapan sepiring pisang
goreg dan kopi hitamnya di pos jaga. Disaat
mentari masih bersembunyi dibalik jejeran
pegunungan yang menjulang tinggi. Disaat angkasa raya masih berwarna biru lembayunhg.
Ketika rerumputan lapangan masih basah oleh embun pagi.
Saat itulah aku
sudah berada didalam kelasku, duduk dibangku deretan pertama paling ujung.
Memandang jauh menembus jendela kearah rerumputan
lapangan sekolah, deretan pegunungan sekolah, langit berwarna lembut dan menatap alam yang selalu
misterius.
Tetapi hari ini berbeda,
aku datang
ketika Matahari mulai meninggi,
ketika panasnya mentari mulai terasa dikulit.
Ketika langit begitu terang hingga menyilaukan mata,
ketika embun pagi telah kembali menguap ke udara.
Ketika pak zein telah melangkah keluar dari pos jaga.
Menggenggam gembok besar dan rentengan kunci seluruh
sekolah.
Karena hanya di
hari inilah aku bisa berpapasan dengan nya.
Hal yang hanya terjadi sehari dalam seminggu,
Hanya dihari ini ia akan berkesempatan datang kekelasku.
Mendorong kursi roda seorang guru sepuh yang mendapat
bagian mengajar dikelasku. Mengantar beliau hinng meja guru,
menyapaku yang masih dia
berdidiluarkelas. Menyapaku dengan kalimat “selamat pag
rinai hari itu kau hampir saja terlambat”
tersenyum ia menyapaku menunjukan gingsul giginya diantara deretan gigi yang
rapih. Lantas pamit pergi melanjutkan perjalanannya menuju kelas.
Aku membalas sapaannya hanya dengan
anggukan. Tersenyum sopan barang sekeja.
Entah ia melihatnnya atau tidak. Lantas belum genap ia berpamitan aku sudah
melesat masuk kekelas melangkah gonta sambil menghela nafas. Senang sekaligus
kecewa. Senang karena bisa bertemu dengan nya. Kecewa karena tak bisa berrkata
apa apa. Selalu saja begitu setiap minggunya.Hingga tanpa kusadari siklus iu
terus terjadi selama setengah tahun.
Bermula ketika pertamakali ia menuntun
kursi roda pak Hasan. Saat itu minggu pertama tahun ajaran baru. Kini aku kelas satu Aliyah, masih
kuingat sapaan pertamanya, senyum pertamanya yang hingga kini tak
berubah.Bedanya saat itu ia menyapaku dengan kalimat “selamat pagi. Hari ini
kan hampir saja terlambat‘. Ia belum tahu namaku ,tetapi sapaan pertamanya
sudah begitu akrab.
Seiring waktu berjalan, ia akhirnya
mengetahui namaku dan akupun mengetahui namanya lewat cari cari dengan anak
anak yang sedang berkumpul setiap hari, membicarakan sesuatu yang selalu
terdengar seru.
Ia bernama haidarah kelas 2 Aliyah, berbeda
satu tahun dengan ku. Haidarah dalam bahasa Arab berarti ”Singa” nama asli dari
khalifah Ali Bin Abi Thalib. Aku merasa senang ketika mengetahui arti dari kata
namanya itu. Nama yang selalu kuingat sejak pertama kali mengetahuinya, nama
yang selalu kuulang dikala pagi masih begitu gelap.
Hingga aku mengikuti siklusnya, berusaha
sebisa mung kin datang bersamaan
dengannya. Setelah melewati beberapa minggu aku mulai berusaha merangkai kata
untuk membalas suratnya. Tapi aku selalu mengulangi kesalahanku. Hanya diam, tersenyum
barang sekejap hingga akhirnya melengos pergi, menghela nafas berat antara
senang sekaligus kecewa.
Setengah tahun terlewati tak ada yang
berubah setiap kali aku berpapasan dengannya. Hingga sebuah kenyataan tak
terduga datang tiba tiba, seperti ketika kau sedang menikmati sebotol air yang
baru habis setengah dan tiba tiba saja kau tersedak. Air yang tadinya
menyegarkan berubah mencekik tenggorokan. Alasannya sederhana pak Hasan tak
lagi mengajar ia pun tak lagi mampir dikelasku. Aku kehilangan sapaannya sejak
itu, tak ada lagi senyum ramahnya,tak bisa kulihat lagi gingsul gigi nya, tak
ada lagi kesempatan menyampaikan sepatah dua patah kata kepadanya.
Dengan amat nyata, kurasakan ada
sesuatu yang hilang tapi bahkan aku tak mengetahui apa sejatinya apa yang
hilang itu. Aku kembali pada suatu yang amat jelas, Haidarah telah pergi…
Setelah terakhir kali aku
melihatnya,aku tak pernah melihatnya lagi. Entah itu lewat dikelas, koridor, kantin,
lapangan seakan ia tak ada atau memang tak ingin bertemu denganku lagi.Seakan
akan dari hati ada yang tercabut amat dalam sekali. Waktu terus berjalan tanpa
memperdulikan apapun, begitu pula diriku yang kecil. Waktu berjalan bagai
hembasan angin yang terlupakan.
Kini aku berumur 17 tahun, setelah
libur panjang nanti aku resmi akan menjadi murid kelas 3 Aliyah. Hari ini
adalah acara perpisahana siswa siswi angkatan Haidarah. Hingga saat inipun aku
tetap tak melihatnya diantara orang-orang yang memakai kebaya untuk perempuan, dan
pakaian batik untuk laki laki. Aku tak menghela nafas seperti 2 tahun yang
lalu, hanya menatap lapangan yang ramai oleh lautan manusia.
Setengah
hari berlalu acara telah selesai. Saat itu aku bersiap siap akan pulang, saat
hendak mengambil tas punggungku didalam kelas kulihat sebuah amplop terselip di
sisi kanan tas tertera namaku disudut bawah amplop.
Inilah jawaban dari pertanyaanku 2
tahun yang lalu.
Assalamu’alaikum
Rinai. Bagaimana kabarmu??? Semoga kau selalu sehat.
Sebenarnya
aku tak tahu hendak mengatakan apa, akupun tak yakin jika kau mengenali siapa
aku. Tapi, aku hanya ingin mengatakan bahwa aku adalah orang yang selalu
menunggumu sejak pertama kali kita berpapasan mendorong kursi roda perlahan
sambil berhitung akan kedatanganmu. Aku mencoba sebisa mungkin bisa berpapasan
dengan mu.Beberapa minggu terlewati aku berusaha menyusun kalimat baru untuk
menyapamu. Tapi aku hanya mengulang kesalahanku. Hingga pak hasan tak mengajar
lagi. Hanya kalimat itu selalu ku ucapkan. Rasa penasaranku kepadamu belum
terjawab. Tiba-tiba pertanyaan lain datang menambah pikira. Aku merasa ada
sesuatu yang hilang. Seperti ada yang tercabut di dalam dasar hati .
Dua tahun berlalu tak pernah
terlupakan pertanyaan yang sampai saat ini belum terjawab. Aku berharap di hari
inilah jawaban itu datang. Kini aku sudah menemukan jawaban dari satu
pertanyaan akan rasa penasaranku ini. Aku ternyata merindukan senyum simple mu
rinai…
Haidarah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar