gadget

EDISI

EDISI 1 (12) EDISI 2 (11) EDISI 3 (14) EDISI 4 (10) EDISI 5 (9) EDISI 6 (9) IKLAN (4) INFO (5) RESENSI (6) Salam Redaksi (7)

Minggu, 08 Oktober 2017

Cita & Cinta di Al Ihya



Oleh: Nahra Malik
Diambil dari kisah nyata di -Era 2008-

          “perempuan itu ujung-ujungnya ke dapur. Untuk apa sekolah???”.
          Kembali teringat ucapan bapak di sore itu. Saat aku mengungkapkan keinginanku bahwa “aku ingin melanjutkan sekolah”         
Airmata segera membanjir. Sambil menggenggam sapu lidi dan menyapu dedaunan yang berserakan di halaman kobong. Aku melihat 2 siswa baru MA Al-Ihya melintasi kobong kami, mengenakan seragam putih-abu.
“Rabb.. ingin sekali rasanya seperti itu”
          Karena rumahku tidak begitu jauh dari kobong, aku mampir sebentar ke rumah untuk mengambil buku. Tiba-tiba ibu menghampiriku.
          “Nak, bapak sudah mendaftarkan kamu sekolah di MA Al-Ihya”. Kata ibu sambil tersenyum.
          Merasa senang bukan kepalang, aku berlari kegirangan menuju kobong.
          “teteh…. Teh”. Panggilku kepada senior-seniorku di kobong. “teh , aku juga mau sekolah.. aku mau sekolah…” kataku kegirangan, “mana iis? Aku juga sekolah…”
          “memangnya masih bisa ya? Bukan nya siswa-siswi baru sudah lama masuk dan diajar bahasa sama aki Haji??”. Kata iis
          “kita ke sekolah aja… “
          Sampai pada waktu malam tiba, aku begitu kesulitan memejamkan mata. Tidak sabar menantikan hari esok dan mengenakan seragam putih abu.
***
          Pada waktu subuh, terdengar suara adzan dari mesjid kemudian disusul bunyi bel dari atas pintu.
Setiap pagi setelah sholat berjama’ah kami semua terbiasa setoran hafalan juz’amma. Santriawan mengaji di majlis kepada Ust. Mahfudin Rusydi dan Santriawati mengaji kepada Ustadzah Popon  di kobong.
Menjlelang terang, Nampak Maria dari kamar dengan raut gugup dan suara seraknya karena flu.
“Teh… Teteh” kata Maria kepada bu Ustadzah, kami biasa memanggil guru kami itu dengan sebutan sayang kami: -Teteh-.
Semua mata menatap Maria penuh Tanya.
“ada apa???”. Tanya Ustadzah Popon.
“hah ??? orang gila? Mana orang gila? Mana?”. Ceplos Teh Nafisah yang tiba-tiba muncul dari dapur. Ceplas-ceplosnya menimbulkan keseragaman persepsi kami bahwa: Maria melihat orang gila.
Aku yang baru selesai menyelesaikan setoran hafalanku pun ikut merasa panik dan ikut menebak bahwa yang membuat Maria ketakutan itu tiada lain ialah orang gila.
Sementara Maria tidak mampu berkata-kata, gelagapan dan terlihat sangat ketakutan, Tanpa pikir panjang kami semua membuntuti Ustadzah ke kamar depan dan ikut mengintip lewat jendela kamar.
“waaaw… pak… bapak… bapaaaaaaak”. Teriak Ustadzah kepada suaminya, pak Ustadz. “Bapaaak… a… a…. ada.. pocong.. ada pocong”. Lanjut Ustadzah.
Kami semua ketakutan dan menangis. Walaupun kami tidak melihatnya, mendengar kata pocong kami begitu ketakutan. Meskipun akal kami mengatakan “masa sih di pagi-pagi begini ada pocong???”. Tapi kami tetap ketakutan.
Dengan bercucuran airmata, kami semua beramai-ramai keluar. Lututku terasa sangat lemas.
“hhhk… hhhhkk… ahahaha..”. terdengar tawa khas-nya kak Sabta. Santriawan paling senior.
“haaaah ???????” semua mata terkejut
“dasar kamu !!!!! Sabta!!!!” Cetus Ustadzah Popon sambil tak kuasa menahan tawa.
Kami semua tertawa. Tawa yang kian bercampur baur dengan airmata itu membuat kami semakin ingin tertawa.
Ternyata, pocong palsu itu ialah Kak Sabta. Salah satu alumnus MA Al-Ihya yang cukup nge-hits di Aliyah pada zaman-nya. Dengan melilit dirinya menggunakan selimut bergaris khas rumah sakit, Ia bermaksud menakut-nakuti santriawan yang sedang mengaji. Alhasil, santriawati lah yang terkena ulah usilnya.
Usai dibuat menangis dan tertawa dalam satu waktu sekaligus itu kami kembali melanjutkan rutinitas kami. Dengan semangat dan penuh cinta kami beramai-ramai membersihkan rumah Ustadzah, kobong dan seluruh halaman kami. Begitulah kebiasaan kami setiap pagi, usai mengaji kami sibuk dengan jadwal piket masing-masing. Ada yang memasak, mencuci piring, menyapu, ngepel dan lain sebagainya. Oleh karena itu, selain kobong kami terasa adem dan hangat, kobong kami juga terasa sangat nyaman dan bersih. Semua itu merupakan pengalaman berharga bagi kami. Selain dididik agar menjadi wanita yang mengerti ilmu agama, kami juga dididik untuk menjadi wanita yang ahli merawat keluarga seperti memasak dan beres-beres.
Usai bersih-bersih, di dapur kobong kami sudah tersedia setumpuk nasi liwet di atas daun pisang dengan lauk ikan peda dan tumis solempat, tidak terlewat juga sambal dan lalab yang begitu menggoda. Itu adalah menu sarapan yang tak terlupakan nikmatnya.
Selain dapat meningkatkan keakraban, makan bersama seperti itu juga sangat ekonomis dan menghemat anggaran hidup kami…
***
MA Al-Ihya… I am Coming
Sudah berlangsung beberapa hari setelah MOS. Aku mendapat bagian kelas di Ruang X A paling pojok gedung.
Dengan langkah santai aku dan iis menapaki satu demi satu anak tangga. Rupanya gedung sekolah masih sangat sepi.
Masih sangat pagi.
Sambil memancarkan senyuman gembira kami terus melangkah melintasi ruangan-ruangan kelas yang masih sunyi.
“wah.. hebat, kita datang paling pagi”. Kata iis.
Tersentak.
Aku melongo di depan pintu kelasku. Menyaksikan sosok penuh wibawa tengah duduk di kursi guru. Mengenakan sarung putih, baju putih dan kopiah putihnya.
Sambil menunduk. Aku dan iis menyalaminya. Ternyata beliau adalah Aki Haji. Aku dan iis hanya bisa duduk manis sambil –dag-dig-dug- di dalam hati.
“Rabb… akhirnya aku bisa bertemu dengan beliau di dalam kelas yang masih sunyi ini”. Bisikku dalam hati. Sebenarnya sangat malu dan begitu gugup.
Kami hanya mampu menunduk tanpa berani menatap ke arah beliau.
“ehm…”. Desis beliau sambil menunjuk sebuah penghapus di mejanya. “coba… dihapus”. Kata Aki Haji sambil mengarahkan sekilas pandang ke arahku.
Dengan gerak malu-malu dan gugup, aku meraih penghapus itu kemudian menghapus papan tulis yang masih kotor tersebut.
Saking gugupnya, menghapus satu lahan papan tulis itu serasa menghapus seluruh papan tulis di yayasan Al-Ihya.
Beliau berdiri di samping papan tulis sambil mengarahkan telunjuknya ke ujung papan tulis paling atas kiri.
“yeuh.. nu didieu yeuh.. nepi hnteu??”. Kata beliau dengan nada suara nya yang khas dan membuat merinding.
“Rupanya beliau sedang mengujiku”. gumamku dalam hati.
Sambil menjinjitkan kaki, perlahan aku menghapus seluruh noda yang ditunjukkan oleh beliau.
“ooh.. bisa, hehehe”. Kata Beliau diiringi tawa yang begitu hangat.
Tawa ramah itu mencairkan seluruh kebekuan yang menyesakan jantungku. Dengan wajah bahagia, aku meletakan penghapus itu dan kembali ke tempat dudukku.
Terlihat ruangan kelas semakin penuh. Tanpa kusadari ternyata teman-temanku bermunculan mengisi tempat duduk masing-masing.
Kemudian beliau menuliskan satu kata pertama “Translate : Menterjemahkan” diiringi kosakata-kosakata lain nya sampai memenuhi papan tulis.
Di sela-sela pembelajaran, beliau mengatakan “Kita jangan pernah merasa kecil walaupun bersekolah di atas gunung, jauh dari perkotaan. Ibarat air yang dapat memberikan kehidupan di setiap langkahnya, dimanapun kita berada, jadilah seperti air yang memberikan banyak manfaat. Karena keberhasilan seseorang itu tidak semata disebabkan oleh tempat dimana ia belajar melainkan bagaimana ia belajar.”
Mendengar kalimat bijak itu pikiranku langsung terbang ke angkasa. Meski ragaku berada di ruangan yang sempit, namun pikiranku mengankasa….
Segara setelah itu, senyuman manis menepi di wajahku. Kembali menyusun target masa depan sehingga ribuan impian langsung terangkai dengan indahnya.
“Bermimpilah !!! karena bermimpi itu gratis.. kenapa harus takut untuk bermimpi ???, sekalipun mimpi itu terlalu tinggi, asalkan selalu mampu untuk bangkit kenapa harus takut terjatuh???”. Gumamku di dalam hati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

INFO Terbaru

INFO Terbaru
"The Best Writer Of The Month" Edisi September

INFO Khusus

INFO Khusus
Karena terbentur dengan kegiatan UAS dan libur sekolah, pendaftaran anggota baru dibuka pada tanggal 01 November - akhir Desember 2017