Oleh:
Nahra Malik
Diambil
dari kisah nyata di -Era 2008-
“perempuan itu ujung-ujungnya ke
dapur. Untuk apa sekolah???”.
Kembali teringat ucapan bapak di sore itu.
Saat aku mengungkapkan keinginanku bahwa “aku ingin melanjutkan sekolah”
Airmata
segera membanjir. Sambil menggenggam sapu lidi dan menyapu dedaunan yang
berserakan di halaman kobong. Aku melihat 2 siswa baru MA Al-Ihya melintasi
kobong kami, mengenakan seragam putih-abu.
“Rabb..
ingin sekali rasanya seperti itu”
Karena rumahku tidak begitu jauh dari
kobong, aku mampir sebentar ke rumah untuk mengambil buku. Tiba-tiba ibu
menghampiriku.
“Nak, bapak sudah mendaftarkan kamu
sekolah di MA Al-Ihya”. Kata ibu sambil tersenyum.
Merasa senang bukan kepalang, aku
berlari kegirangan menuju kobong.
“teteh…. Teh”. Panggilku kepada
senior-seniorku di kobong. “teh , aku juga mau sekolah.. aku mau sekolah…”
kataku kegirangan, “mana iis? Aku juga sekolah…”
“memangnya masih bisa ya? Bukan nya
siswa-siswi baru sudah lama masuk dan diajar bahasa sama aki Haji??”. Kata iis
“kita ke sekolah aja… “
Sampai pada waktu malam tiba, aku
begitu kesulitan memejamkan mata. Tidak sabar menantikan hari esok dan mengenakan
seragam putih abu.
***
Pada waktu subuh, terdengar suara
adzan dari mesjid kemudian disusul bunyi bel dari atas pintu.
Setiap
pagi setelah sholat berjama’ah kami semua terbiasa setoran hafalan juz’amma.
Santriawan mengaji di majlis kepada Ust. Mahfudin Rusydi dan Santriawati
mengaji kepada Ustadzah Popon di kobong.
Menjlelang
terang, Nampak Maria dari kamar dengan raut gugup dan suara seraknya karena
flu.
“Teh…
Teteh” kata Maria kepada bu Ustadzah, kami biasa memanggil guru kami itu dengan
sebutan sayang kami: -Teteh-.
Semua
mata menatap Maria penuh Tanya.
“ada
apa???”. Tanya Ustadzah Popon.
“hah
??? orang gila? Mana orang gila? Mana?”. Ceplos Teh Nafisah yang tiba-tiba
muncul dari dapur. Ceplas-ceplosnya menimbulkan keseragaman persepsi kami bahwa:
Maria melihat orang gila.
Aku
yang baru selesai menyelesaikan setoran hafalanku pun ikut merasa panik dan
ikut menebak bahwa yang membuat Maria ketakutan itu tiada lain ialah orang
gila.
Sementara
Maria tidak mampu berkata-kata, gelagapan dan terlihat sangat ketakutan, Tanpa pikir
panjang kami semua membuntuti Ustadzah ke kamar depan dan ikut mengintip lewat
jendela kamar.
“waaaw…
pak… bapak… bapaaaaaaak”. Teriak Ustadzah kepada suaminya, pak Ustadz. “Bapaaak…
a… a…. ada.. pocong.. ada pocong”. Lanjut Ustadzah.
Kami
semua ketakutan dan menangis. Walaupun kami tidak melihatnya, mendengar kata
pocong kami begitu ketakutan. Meskipun akal kami mengatakan “masa sih di
pagi-pagi begini ada pocong???”. Tapi kami tetap ketakutan.
Dengan
bercucuran airmata, kami semua beramai-ramai keluar. Lututku terasa sangat lemas.
“hhhk…
hhhhkk… ahahaha..”. terdengar tawa khas-nya kak Sabta. Santriawan paling
senior.
“haaaah
???????” semua mata terkejut
“dasar
kamu !!!!! Sabta!!!!” Cetus Ustadzah Popon sambil tak kuasa menahan tawa.
Kami
semua tertawa. Tawa yang kian bercampur baur dengan airmata itu membuat kami
semakin ingin tertawa.
Ternyata,
pocong palsu itu ialah Kak Sabta. Salah satu alumnus MA Al-Ihya yang cukup nge-hits
di Aliyah pada zaman-nya. Dengan melilit dirinya menggunakan selimut
bergaris khas rumah sakit, Ia bermaksud menakut-nakuti santriawan yang sedang
mengaji. Alhasil, santriawati lah yang terkena ulah usilnya.
Usai
dibuat menangis dan tertawa dalam satu waktu sekaligus itu kami kembali
melanjutkan rutinitas kami. Dengan semangat dan penuh cinta kami beramai-ramai
membersihkan rumah Ustadzah, kobong dan seluruh halaman kami. Begitulah
kebiasaan kami setiap pagi, usai mengaji kami sibuk dengan jadwal piket masing-masing.
Ada yang memasak, mencuci piring, menyapu, ngepel dan lain sebagainya. Oleh
karena itu, selain kobong kami terasa adem dan hangat, kobong kami juga terasa
sangat nyaman dan bersih. Semua itu merupakan pengalaman berharga bagi kami.
Selain dididik agar menjadi wanita yang mengerti ilmu agama, kami juga dididik
untuk menjadi wanita yang ahli merawat keluarga seperti memasak dan
beres-beres.
Usai
bersih-bersih, di dapur kobong kami sudah tersedia setumpuk nasi liwet di atas
daun pisang dengan lauk ikan peda dan tumis solempat, tidak terlewat juga sambal
dan lalab yang begitu menggoda. Itu adalah menu sarapan yang tak terlupakan
nikmatnya.
Selain
dapat meningkatkan keakraban, makan bersama seperti itu juga sangat ekonomis
dan menghemat anggaran hidup kami…
***
MA
Al-Ihya… I am Coming
Sudah
berlangsung beberapa hari setelah MOS. Aku mendapat bagian kelas di Ruang X A
paling pojok gedung.
Dengan
langkah santai aku dan iis menapaki satu demi satu anak tangga. Rupanya gedung
sekolah masih sangat sepi.
Masih
sangat pagi.
Sambil
memancarkan senyuman gembira kami terus melangkah melintasi ruangan-ruangan
kelas yang masih sunyi.
“wah..
hebat, kita datang paling pagi”. Kata iis.
Tersentak.
Aku
melongo di depan pintu kelasku. Menyaksikan sosok penuh wibawa tengah duduk di
kursi guru. Mengenakan sarung putih, baju putih dan kopiah putihnya.
Sambil
menunduk. Aku dan iis menyalaminya. Ternyata beliau adalah Aki Haji. Aku dan
iis hanya bisa duduk manis sambil –dag-dig-dug- di dalam hati.
“Rabb…
akhirnya aku bisa bertemu dengan beliau di dalam kelas yang masih sunyi ini”.
Bisikku dalam hati. Sebenarnya sangat malu dan begitu gugup.
Kami
hanya mampu menunduk tanpa berani menatap ke arah beliau.
“ehm…”.
Desis beliau sambil menunjuk sebuah penghapus di mejanya. “coba… dihapus”. Kata
Aki Haji sambil mengarahkan sekilas pandang ke arahku.
Dengan
gerak malu-malu dan gugup, aku meraih penghapus itu kemudian menghapus papan
tulis yang masih kotor tersebut.
Saking
gugupnya, menghapus satu lahan papan tulis itu serasa menghapus seluruh papan
tulis di yayasan Al-Ihya.
Beliau
berdiri di samping papan tulis sambil mengarahkan telunjuknya ke ujung papan
tulis paling atas kiri.
“yeuh..
nu didieu yeuh.. nepi hnteu??”. Kata beliau dengan nada suara nya yang khas dan
membuat merinding.
“Rupanya
beliau sedang mengujiku”. gumamku dalam hati.
Sambil
menjinjitkan kaki, perlahan aku menghapus seluruh noda yang ditunjukkan oleh
beliau.
“ooh..
bisa, hehehe”. Kata Beliau diiringi tawa yang begitu hangat.
Tawa
ramah itu mencairkan seluruh kebekuan yang menyesakan jantungku. Dengan wajah
bahagia, aku meletakan penghapus itu dan kembali ke tempat dudukku.
Terlihat
ruangan kelas semakin penuh. Tanpa kusadari ternyata teman-temanku bermunculan
mengisi tempat duduk masing-masing.
Kemudian
beliau menuliskan satu kata pertama “Translate : Menterjemahkan”
diiringi kosakata-kosakata lain nya sampai memenuhi papan tulis.
Di
sela-sela pembelajaran, beliau mengatakan “Kita jangan pernah merasa kecil
walaupun bersekolah di atas gunung, jauh dari perkotaan. Ibarat air yang dapat
memberikan kehidupan di setiap langkahnya, dimanapun kita berada, jadilah
seperti air yang memberikan banyak manfaat. Karena keberhasilan seseorang itu
tidak semata disebabkan oleh tempat dimana ia belajar melainkan bagaimana ia
belajar.”
Mendengar
kalimat bijak itu pikiranku langsung terbang ke angkasa. Meski ragaku berada di
ruangan yang sempit, namun pikiranku mengankasa….
Segara
setelah itu, senyuman manis menepi di wajahku. Kembali menyusun target masa
depan sehingga ribuan impian langsung terangkai dengan indahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar