gadget

EDISI

EDISI 1 (12) EDISI 2 (11) EDISI 3 (14) EDISI 4 (10) EDISI 5 (9) EDISI 6 (9) IKLAN (4) INFO (5) RESENSI (6) Salam Redaksi (7)

Jumat, 05 Januari 2018

Resensi Buku “Api Sejarah – 1” Part (1), Oleh: Siti Rodiah

Resensi Buku "Api Sejarah" Jilid 1 (Karya Ahmad Mansyur Suryanegara)

Oleh : Siti Rodiah

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah swt, setelah cukup lama tertunda akhirnya saya bisa menyelesaikan menulis resensi ini walaupun masih banyak kekurangan. Disini saya akan menuliskan kembali apa yang saya dapat tangkap dan apa yang bisa saya fahami dari buku Api Sejarah karya Ahmad Mansyur Suryanegara yang lebih memfokuskan mengangkat koreksi terhadap sejarah Indonesia.
    Saya terarik sekali dengan salah satu  ungkapan dalam buku ini di halaman-halaman awal, "Bila sejarawan mulai membisu, hilanglah kebesaran masa depan generasi bangsa".  Namun saat ini generasi muda Islam terlihat sekali tidak mengetahui asal usul bangsanya bahkan seperti tidak tahu pahlawan bangsanya, seolah olah tidak mempunyai pahlawan. Semua ini tiada lain sebagai dampak penulisan sejarah yang bertolak belakang dari dasar deislamisasi dan cukup lama terbiarkan dalam penulisan sejarah. Dampak lain dari sistem penulisan sejarah ini adalah saat ini siswa SD, SMP sampai SMA banyak dicekoki buku pelajaran sejarah yang berisikan hampir 95% sejarah Hindu-Budha. Walaupun fakta nya agama Islam lah yang mayoritas dianut masyarakat Indonesia.

    Salah satu sejarawan yang mampu memberikan koreksi terhadap kesalahan penulisan sejarah Islam Indonesia adalah Raden K. H. Abdullah bin Nuh. Beliau adalah pembina majlis Al-Ghazali, Bogor. Selain sebagai ulama, juga sebagai pelaku sejarah yang memiliki kemampuan dan perhatian terhadap penafsiran dan penulisan ulang sejarah Islam seperti halnya H. Agus Salim, prof. Dr. Boy Hamka, Prof. Osman Raliby, dan Dr. Abubakar Atjeh.
    Dalam karya-karya nya ia lebih memfokuskan kepada peran-peran ulama dalam tantangan zaman. Mulai dari penguasaan laut hingga pembangkit generasi muda. Seperti banyak diketahui, dakwah wirausahawan berasal dari pasar, kemudian mesjid dan berkembang menjadi pesanteren hingga lahir kekuasaan yang lebih besar seperti kesultanan. Salah satunya kesultanan Banten yang pembangunannya dijadikam contoh oleh Syarif Hidayatullah sebagai salah satu Waliongo. Dan ternyata nama Jakarta yang kini menjadi Ibu Kota Negara Indonesia, juga merupakan karya beliau beserta Fatahillah sebagai rasa syukur atas kemenangan dalam menghadang penjajahan Soenda Kelapa oleh keradjaan Katholik Portugis yang datang sebagai pelaksanaan testamen Imperialisme Paus Alexander VI dalam perjanjian Tordesilas (1494 M). Karena kemenangan ini diambilah nama Jayakarta yang diambil dari Q.S. Al-Fath ayat pertama. Inna Fattahnu Laka Fathan Mubina. Fathan Mubina yang artinya kemenangan Paripurna (Jayakarta) yang lambat laun lebih dikenal dengan nama Jakarta. Sungguh realitas yang mengejutkan, kota yang menjadi induk pemerintahan negara ini pun ternyata tidak terlepas dari peran Walisongo. Walaupun akhirnya peran Walisongo ini mulai terlupakan dan tidak dikenang. Karena dalam penulisan sejarah pun peran ulama dan santri sebagai bela negara dan agama dipinggirkan bahkan cenderung ditiadakan dan justru digantikan oleh yang jelas-jelas menolak membangun Kesatuan dan Persatuan bangsa.

   Tidak bisa dipungkiri bahwa Peran ulama dan santri lah yang paling dominan dalam pembentukan dan kemajuan negara Indonesia. Diantara sekian banyak peran tersebut, dari buku ini saya mengambil beberapa poin penting, diantaranya:
·         Walisongo sebagai ulama berperan penting dalam proklamasi 17 Agustus 1945 yang bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364 H.
·         Walisongo sebagai ulama berperan penting dalam membangkitkan kesadaran politik umat hingga berdiri 40 kekuasaan politik Islam di Indonesia.
·         Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan juga tidak terlepas dari peran ulama. Karena hanya Indonesia negara yang terjajah yang menggunakan bahasa sendiri dalam menggunakan bahasa persatuannya setelah merdeka.
·         Bendera merah putih sebagai bendera nasional yang awalnya para ulama yang membudayakan warna merah putih Rasulullah.
·         Ulama juga berperan dalam pembentukan TNI yang banyak ditentang oleh banyak pihak (5 Oktober 1945, 24 Syawal 1364.
·         Dibentuknya Partai Islam Indonesia Masjoeni (7 Nobember 1945, 1 Dzulhijjah 1364), Yang berani mengeluarkan pernyataan 60 Miljoen Moeslim Indonesia siap berjihad fisabilillah.
·         Berkat perjuangan perdana menteri Muhammad Natsir sebagai intelektual, ulama serta politikus dari partai Persis (Persatuan Islam), JIB (Jong Islamieten Bond), PII(Partai Islam Indonesia), berhasil mengubah Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
·         Ulama berperan menegakan kedaulatan   bangsa dan negara dalam menghadapi Imperialis serta mempertahankan NKRI.


   Dalam buku ini, saya banyak tercengan. Karena ternyata diantara proses berbentuknya negara Republik Indonesia, terdapat peran ulama didalamnya, yang banyak tidak diketahui masyarakat penikmat sejarah yang terlalu dijejali buku sejarah yang melupakan peran ulama dan santri, biarpun ada, banyak sekali  yang sangat bertantangan dengan realita. Diantaranya sejarah yang bertentangan dengan perjuangan Rasulullah beserta sahabat, ulama, khalifah dan lainnya. Seperti mengenai tahun masuknya Islam yang diangkat oleh Radeh K. H. Abdullah bin Nuh. Masuknya Islam ke Indonesia bayak diketahui pada tahun 13 M yang semestinya tahun 7 M, tidak hanya itu Islam juga sangat dipojokkan, karena orientalis menuliskan, Islam hadir di Indonesia banyak menimbulkan perpecahan dan sebaliknya, mereka lebih mengangkat dan mengagung agungkan sejarah Hindu-Budha yang mengalami masa keemasan. Kemungkinan besar hal itu terjadi karena pada saat imperialis ada di Indonesia, ulama muslim lah yang mempelopori perlawanan terhadap penjajah tersebut.

    Selama ini kita mungkin tahu bahwa tanggal 20 Mei diperingati sebagai hari kebangkitan Nasional, yang diambil dari hari lahirnya Boedi Utomo (1908). hal yang baru saya tahu setelah membaca buku ini adalah ternyata Boedi Utomo yang menjadi dasar peringatan hari Kebangkitan Nasional tersebut sempat menolak pelaksanaan cita-cita persatuan bangsa dan maaih mempertahankan Djawanisme dan ajaran Kjawen sampai usianya 20 tahun saat itu. Sedabgkan Ajaran Kjawen dan Djawanisme sangat bertentangan dengan ajaran Islam, parahnya lagi mereka dalam medianya Djawi Huaworo, serta pada kepemimpinan Dr. Soetomo dalam partai Indonesia Raja dengan medianya Madjalah Bangoen, dalam kesua media tersebut mereka berani menghina Rasulullah. Namun, umat Islam Indonesia tetap menghormati keputusan kabinet Hatta tersebut dan bersedia 20 Mei dijadikan sebagai hari kebangkitan Nasional hingga sekarang.

     Peristiwa sejarah hakikatnya memang merupakan kesinambungan masalalu yang telah diletakan dasarnya oleh ulama dan santri.

   Wal tandhur nafsun maqadamat li ghad
  "Perhatikanlah sejarahmu untuk hari esokmu"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

INFO Terbaru

INFO Terbaru
"The Best Writer Of The Month" Edisi September

INFO Khusus

INFO Khusus
Karena terbentur dengan kegiatan UAS dan libur sekolah, pendaftaran anggota baru dibuka pada tanggal 01 November - akhir Desember 2017