Oleh : Siti Rodiah
Alhamdulillah, puji syukur
kehadirat Allah swt, setelah cukup lama tertunda akhirnya saya bisa
menyelesaikan menulis resensi ini walaupun masih banyak kekurangan. Disini saya
akan menuliskan kembali apa yang saya dapat tangkap dan apa yang bisa saya
fahami dari buku Api Sejarah karya Ahmad Mansyur Suryanegara yang lebih
memfokuskan mengangkat koreksi terhadap sejarah Indonesia.
Saya terarik sekali dengan salah satu ungkapan dalam buku ini di halaman-halaman
awal, "Bila sejarawan mulai membisu, hilanglah kebesaran masa depan
generasi bangsa". Namun saat ini
generasi muda Islam terlihat sekali tidak mengetahui asal usul bangsanya bahkan
seperti tidak tahu pahlawan bangsanya, seolah olah tidak mempunyai pahlawan.
Semua ini tiada lain sebagai dampak penulisan sejarah yang bertolak belakang
dari dasar deislamisasi dan cukup lama terbiarkan dalam penulisan sejarah.
Dampak lain dari sistem penulisan sejarah ini adalah saat ini siswa SD, SMP
sampai SMA banyak dicekoki buku pelajaran sejarah yang berisikan hampir 95%
sejarah Hindu-Budha. Walaupun fakta nya agama Islam lah yang mayoritas dianut
masyarakat Indonesia.
Salah satu sejarawan yang mampu memberikan
koreksi terhadap kesalahan penulisan sejarah Islam Indonesia adalah Raden K. H.
Abdullah bin Nuh. Beliau adalah pembina majlis Al-Ghazali, Bogor. Selain
sebagai ulama, juga sebagai pelaku sejarah yang memiliki kemampuan dan
perhatian terhadap penafsiran dan penulisan ulang sejarah Islam seperti halnya
H. Agus Salim, prof. Dr. Boy Hamka, Prof. Osman Raliby, dan Dr. Abubakar Atjeh.
Dalam karya-karya nya ia lebih memfokuskan
kepada peran-peran ulama dalam tantangan zaman. Mulai dari penguasaan laut
hingga pembangkit generasi muda. Seperti banyak diketahui, dakwah wirausahawan
berasal dari pasar, kemudian mesjid dan berkembang menjadi pesanteren hingga
lahir kekuasaan yang lebih besar seperti kesultanan. Salah satunya kesultanan
Banten yang pembangunannya dijadikam contoh oleh Syarif Hidayatullah sebagai
salah satu Waliongo. Dan ternyata nama Jakarta yang kini menjadi Ibu Kota
Negara Indonesia, juga merupakan karya beliau beserta Fatahillah sebagai rasa
syukur atas kemenangan dalam menghadang penjajahan Soenda Kelapa oleh keradjaan
Katholik Portugis yang datang sebagai pelaksanaan testamen Imperialisme Paus
Alexander VI dalam perjanjian Tordesilas (1494 M). Karena kemenangan ini
diambilah nama Jayakarta yang diambil dari Q.S. Al-Fath ayat pertama. Inna
Fattahnu Laka Fathan Mubina. Fathan Mubina yang artinya kemenangan Paripurna
(Jayakarta) yang lambat laun lebih dikenal dengan nama Jakarta. Sungguh
realitas yang mengejutkan, kota yang menjadi induk pemerintahan negara ini pun
ternyata tidak terlepas dari peran Walisongo. Walaupun akhirnya peran Walisongo
ini mulai terlupakan dan tidak dikenang. Karena dalam penulisan sejarah pun
peran ulama dan santri sebagai bela negara dan agama dipinggirkan bahkan
cenderung ditiadakan dan justru digantikan oleh yang jelas-jelas menolak
membangun Kesatuan dan Persatuan bangsa.
Tidak bisa dipungkiri bahwa Peran ulama dan
santri lah yang paling dominan dalam pembentukan dan kemajuan negara Indonesia.
Diantara sekian banyak peran tersebut, dari buku ini saya mengambil beberapa
poin penting, diantaranya:
·
Walisongo sebagai ulama
berperan penting dalam proklamasi 17 Agustus 1945 yang bertepatan dengan 9
Ramadhan 1364 H.
·
Walisongo sebagai ulama
berperan penting dalam membangkitkan kesadaran politik umat hingga berdiri 40
kekuasaan politik Islam di Indonesia.
·
Bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan juga tidak terlepas dari peran ulama. Karena hanya Indonesia
negara yang terjajah yang menggunakan bahasa sendiri dalam menggunakan bahasa
persatuannya setelah merdeka.
·
Bendera merah putih
sebagai bendera nasional yang awalnya para ulama yang membudayakan warna merah
putih Rasulullah.
·
Ulama juga berperan dalam
pembentukan TNI yang banyak ditentang oleh banyak pihak (5 Oktober 1945, 24
Syawal 1364.
·
Dibentuknya Partai Islam
Indonesia Masjoeni (7 Nobember 1945, 1 Dzulhijjah 1364), Yang berani mengeluarkan
pernyataan 60 Miljoen Moeslim Indonesia siap berjihad fisabilillah.
·
Berkat perjuangan perdana
menteri Muhammad Natsir sebagai intelektual, ulama serta politikus dari partai
Persis (Persatuan Islam), JIB (Jong Islamieten Bond), PII(Partai Islam Indonesia),
berhasil mengubah Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI)
·
Ulama berperan menegakan
kedaulatan bangsa dan negara dalam
menghadapi Imperialis serta mempertahankan NKRI.
Dalam buku ini, saya banyak tercengan.
Karena ternyata diantara proses berbentuknya negara Republik Indonesia,
terdapat peran ulama didalamnya, yang banyak tidak diketahui masyarakat
penikmat sejarah yang terlalu dijejali buku sejarah yang melupakan peran ulama
dan santri, biarpun ada, banyak sekali
yang sangat bertantangan dengan realita. Diantaranya sejarah yang
bertentangan dengan perjuangan Rasulullah beserta sahabat, ulama, khalifah dan
lainnya. Seperti mengenai tahun masuknya Islam yang diangkat oleh Radeh K. H.
Abdullah bin Nuh. Masuknya Islam ke Indonesia bayak diketahui pada tahun 13 M
yang semestinya tahun 7 M, tidak hanya itu Islam juga sangat dipojokkan, karena
orientalis menuliskan, Islam hadir di Indonesia banyak menimbulkan perpecahan
dan sebaliknya, mereka lebih mengangkat dan mengagung agungkan sejarah
Hindu-Budha yang mengalami masa keemasan. Kemungkinan besar hal itu terjadi
karena pada saat imperialis ada di Indonesia, ulama muslim lah yang mempelopori
perlawanan terhadap penjajah tersebut.
Selama ini kita mungkin tahu bahwa tanggal
20 Mei diperingati sebagai hari kebangkitan Nasional, yang diambil dari hari
lahirnya Boedi Utomo (1908). hal yang baru saya tahu setelah membaca buku ini
adalah ternyata Boedi Utomo yang menjadi dasar peringatan hari Kebangkitan
Nasional tersebut sempat menolak pelaksanaan cita-cita persatuan bangsa dan
maaih mempertahankan Djawanisme dan ajaran Kjawen sampai usianya 20 tahun saat
itu. Sedabgkan Ajaran Kjawen dan Djawanisme sangat bertentangan dengan ajaran
Islam, parahnya lagi mereka dalam medianya Djawi Huaworo, serta pada
kepemimpinan Dr. Soetomo dalam partai Indonesia Raja dengan medianya Madjalah
Bangoen, dalam kesua media tersebut mereka berani menghina Rasulullah. Namun,
umat Islam Indonesia tetap menghormati keputusan kabinet Hatta tersebut dan
bersedia 20 Mei dijadikan sebagai hari kebangkitan Nasional hingga sekarang.
Peristiwa sejarah hakikatnya memang
merupakan kesinambungan masalalu yang telah diletakan dasarnya oleh ulama dan
santri.
Wal tandhur nafsun maqadamat li ghad
"Perhatikanlah sejarahmu untuk hari esokmu"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar