Resensi
yang ke 4 ini lebih dominan membahas
twntang proses islamosasi di Indonesia serta awal masuknya imperialis ke
Indoneaia.
Mungkin banyak kita jumpai,
banyak sekali prosea Islamisasi di Indonesia, namun Proses islamisasi dengan
cara niaga dan pernikahan adalah ciri umum spesifikasi Islam. Peran pasar jelas
menjadi faktor utama pesatnya penyebaran agama Islam, namun pernikahan juga
ikut berperan penting dalam penyebaran agama Islam di Nusantara, seperti yang
ditulis dalam "Carita Purwaka Caruban Bumi (1720) ", pengaruh
pernikahan dalam penyebaran agama Islam di pakuan Padjajaran yaitu pernikahan
antara Raden Pamanah Rasa atau yang lebih dikenal dengan Prabu Siliwangi dengan
Njai Soebang Larang yang merupakan santri dari Syekh Hasanuddin (Syekh Qoera).
Ketika pernikahannya dengan Njai Soebang Larang, sebenarnya Siliwangi telah
memeluk Islam dan pernikahannya pun dilaksanakan secara Islami dan menjadi
sebab terjadinya Islamisasi Prabu siliwangi.
Dari pernikahan Prabu Siliwangi dengan
Mjai Soebang Larang, melahirkan 3 irang anak yaitu Walang Sungsang, Rara
Santang, dan Radja Sangara atau Raden Kian Santang. Ketiga anaknya ini menjadi
perintis Dinasti Siliwangi sebagai penganut Islam.
Berikutnya hasil pernikahan antara Rara
Santang dan Syarif Abdullah melahirkan seorang putra yaitu Syarif Hodayatullah
/ Sunan Gunung Djati, itu berarti ia adalah cucu dari Prabu Siliwangi. Dengan
begitu, Dinasti Prabu Siliwangi melahirkan salah seorang Wali Songo. Walaupun
pengaruh Siliwangi dalam melaahirkan kekuasaan politik Islam di Indonesia
kurang ditekankan.
Peristiwa keluarga Siliwangi memeluk Islam ini
menunjukan bukti terbukanya bangsa Hindu
Budha terhadap Islam. Namun proses Islamisasi yang begitu damai, dituliskan bak
dongeng dengan fakta yang sangat terbalik, dikisahkan proses Islamisasi yang
melibatkan anak-anak Siliwangi mengakibatkan anak-anak Siliwangi diperlakukan
tidak pantas oleh keluarga istana yang beragama Hindu, bahkan mereka diusir dan
diasingkan. Sedangakn nyatanya tidak demikian, daerah Dinasti Prabu Siliwangi
justru menyebar hingga ke Jawa Timur.
Sejarah mencatat, perubahan agama jyga
dapat dilihat dari perubahan nama. Masuknya agama Islam ke Nusantara membawa
perubahan yang sangat besar, bagitu pula dengan perubahan nama. Masyarakat pada
zaman Hindu Budha pra Islam cenderung lebih menyukai nama-nama yang berbau
fauna atau hewan, seperti Hayam Woeroek, Gadjah Mada, Walangsungsang dll. Namun
setelah ajaran Islam mulai terserap masyarakat, perubahan nama mulai terjadi
menjadi lebih baik, misalnya Walangsungsang yang berarti belalang yang
berposisi sungsang berubah nama menjadi H. Abdullah Imam/ Ki Samadullah, dan
Rara Santang yang berubah nama menjadi Saripah Moedaim setelah melakukan haji bersama kakaknya.
Kemajuan penyebaran Islam di Nusantara
juga tidak terlepas dari peran santri, ulama dan wirausahawan muslim yang tidak
hanya nertindak sebagai pelaku pasar, tetapi juga sebagai pendidik generasi
muda dan pesantren. Dari sinilah lahir komunitas-komunitas baru ditengah masyarakat
berupa wirausahawan, ulama, santri, dan selanjutnya berkembang menjadi
pemerintahan kekuasaan politik Islam atau Khilafah.
Disaat pudarnya kekuasaan Hindu Budha,
datanglah penjajah ke Indonesia yaitu Katolik Portugis dan Protestan Belanda
yang memperparah keadaan kekuasaan Hindu Budha sekaligus mempercepat kemajuan
politik Islam dan pelan-pelan menggantikan
kekuasaan Hindu Budha di indonesia. Namun, salah satu kemunduran
kerajaan Budha yaitu kerajaan Budha Sriwijaya, diceritakan mengalami kemunduran
karena serangan Islam. Padahal kenyataannya, hal itu terjadi karena serangan
kerajaan Chola dan Drawida fari india (1000 M) .
Menurut Drs. M. Ali mengatakan bahwa salah
satu faktor keruntuhan kekuasaan Hindu Budha karena ketika pembangunan candi-candi
dan parung besar, rakyat yang berkasta Sudra dan Paria diwajibkan melaksanakan
kerja bakti. Hal ini sangat menyengsarakan rakyat, dan lambat laun mereka mulai
meninggalakan agamanya lalu beralih masuk Islam. Hal ini tentu memperlemah
kekuasaan Hindu Budha.
Karena kondisi yang semakin
kacau inilah, kesoeltanan Demak melancarkan perlawanan bersenjata merebut
kembali Malaka (1512 M), gerakan ini disebut gerakan nasionalisme. Tetapi kini gerakan nasionalisme diartikan
sebagai gerakan yang hanya membela bangsa dan tanah air saja, tanpa
mempedulikan unsur agama. Padahal secara historis, baik imperialis maupun
gerakan nasionalis dimotivasi oleh keyakinan agama.
Demikian juga setelah indonesia Merdeka,
hal-hal yang memyangkut masalah sejarah agama Katholik dan Protestan di
Indonesia tidak dikaitkan dengan penjajahan barat, bahkan dalam Diorama Monas,
dikatakan Protestan dan Katholik di Indonesia sebagai pemersatu. Jelas ini
merupakan penyimpangan sejarah yang besar.
Namun gerakan yang dialancarkan
kesultanan Demak mengalami kegagalan, dan karena ketidak berhasilan ini
datanglah Imperialis Katolik Spanyol yang berupaya bersaing dengan Katolik Portugis untuk melakukan pendekatan
kepada Kesultanan Ternate dan Tidore.
Katolik Portugis memgimbangi dengan
mendirikan benteng pertahanan di Soenda Kalapa(1522) dan bertahan selama 6
tahun (1521-1527). Namun Sunan Gunung
Djati berhasil merebut kembali Soenda Kalapa dari tangan Katolik portugis
dengan bantuan Fatahilah, karena keberhadilan ini beliau kemudian mengganti
nama Soenda Kalapa tersebut menjadi Fatha Mubina kemudian menjadi Jayakarta
(saat ini disebut Jakarta) yang artinya kemenangan paripurna.
Selain itu, Portugis juga menjalin
hubungan diplomatik dengan kesultanan Ternate (1522), namun karena dirasa
semakin hari semakin menindas dan tidak dapat bekerja sama dengan
Islam,terutama terjadi praktek Kristenisasi. Maka 50 tahun setelah mendirikan
benteng, kesultanan Ternate dibawah Soeltan Baabullah(1570-1583), berhasil
mengusir Portugis dari kesultanan Ternate.
Setelah keraje2aan Katolik Portugis terusir, maka berakhirlah perlawanan
umat Islam terhadap Imperialis Barat dan dilanjutkan dengan Imperialis Katolik
yang diprakarsai oleh Portugis dan Spanyol lalu Protestan Belanda dan Inggris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar